Ada ribuan buku di toko buku dengan ribuan cerita, ribuan cover berdesain indah, dan ribuan baris paragraf menghiasi lembar demi lembar kertas. Dan mungkin kita semua sudah ribuan kali pergi ke toko buku. Namun, pernahkah sekali saja terbersit bagaimana kisah buku-buku itu hingga bisa duduk manis di rak-rak pajangan, berusaha menarik setiap orang yang berkunjung agar bersedia mengadopsi mereka. Dalam diam mereka, buku-buku itu akan bercerita tentang bait demi bait cerita yang tersimpan di dalam tubuh mereka. Andai mereka bisa berbicara, ingin sekali mereka membagikan suatu kisah yang sangat luar biasa. Sebuah kisah tentang perjuangan dari orang-orang hebat yang telah menciptakan mereka dengan segala cinta dan kerja keras. Sayangnya, buku-buku itu hanya bisa diam. Dan akhirnya kisah luar biasa itu tetap tersimpan abadi hingga ribuan tahun mendatang.
Sebuah buku tidak secara ajaib berada di toko buku. Semuanya begitu manusiawi sehingga setiap manusia bisa membuatnya. Tidak mudah memang, tetapi juga tidak mustahil. Melalui note-note ini, aku akan mengajak untuk melihat bagaimana proses membuat buku itu. Proses yang rumit, melelahkan, tetapi juga memberikan kenangan yang indah. Dan mungkin nanti setelah membaca note-note ini, ada di antara kalian yang terinspirasi untuk membuat buku? Why not. Kisah-kisah terbaik dunia menunggu dilahirkan oleh jari-jemari kalian.
Note ini akan kubagi dalam 4 part, yaitu:
1. Tips dan Trik Menulis
2. Proses Editing
3. Cara Mengirim Naskah ke Penerbit
4. Cara Menerbitkan Buku Sendiri
PART 1 : Tips dan Trik Menulis
1. Topik apa yang harus kutulis?
Ini adalah pertanyaan utama saat seorang penulis akan mulai membuat karyanya. Sebaiknya mulailah dengan menulis hal yang kita suka atau kuasai. Entah itu tentang romance, fantasi, misteri, drama kehidupan, dll.
Kadang kita berpikir bagaimana kalau kita mulai dengan menulis cerita yang sedang digemari pasar. Jika kita ingin membuat buku berkualitas, sebaiknya mulailah dengan genre yg kita kuasai karena mengawali menulis itu sulit.
2. Aduh, susah sekali memulai Bab Pertama. Otakku kosong, tanganku kaku!!
Seorang bayi tidak bisa langsung berjalan saat dilahirkan. Dia harus belajar merangkak dan berjalan tertatih-tatih. Percayalah, semua penulis pasti mengalami kesulitan saat akan membuat Bab Pertama. Tulisan begitu kaku, gaya bahasa amburadul, deskripsinya aneh, dan entah kehancuran apa lagi.
Bab Pertama begitu sulit karena kadang kita belum mendapatkan soul-nya. Satu-satunya cara untuk mengatasi itu adalah keep writting. Karena itu bila ada pepatah mengatakan don’t judge a book from its cover, kalau aku bilang don’t judge a book from its first chapter. Jadi saat membaca sebuah buku, kalau bisa jangan tutup buku itu sebelum kalian berhasil melewati bab pertama. Andai bab pertamanya jelek, coba baca bab kedua, ketiga, dst. Kalau sampai bab kelima masih tetap jelek, bolehlah buku itu ditutup.
3. Kepalaku sudah penuh dengan ide dan sepertinya akan keren sekali bila ditulis. Tapiii….
Kenapa saat sudah di depan laptop mendadak aku tidak bisa menulis apapun. Dan bila aku memaksa menulis, kalimat-kalimatnya terasa amat kaku.
Sekali lagi itu karena kita belum mendapatkan soul-nya. Kita belum bisa masuk ke dalam cerita. Dan untuk mendapatkan soul itu, satu-satunya cara adalah dgn tetap memaksakan diri untuk menulis. Lambat laun, soul itu akan muncul dengan sendirinya. Mungkin baru akan muncul setelah lembar ke 50 atau mungkin setelah halaman ke 200.
Waktu awal mulai menulis, tulisanku benar-benar kacau dan hancur. Tapi pelan-pelan aku mulai mendapat soulnya dan jariku seperti mengetik sendiri tanpa aku perlu berpikir. Kemudian aku sempat berhenti menulis selama 2 atau 3 bulan. Dan soulku hilang lagi. Akhirnya aku memaksa diri tetap menulis. Setelah menulis 100 halaman, soulku baru kembali. Dan 100 halaman itu kuhapus lalu kuganti dengan yg baru.
4. Perlukah kita membuat kerangka tulisan sebelum menulis? Atau langsung tulis saja, nantinya inspirasi akan datang sendiri?
Jawabannya tergantung. Ada saat di mana kita membutuhkan kerangka, tetapi bisa juga tidak. Dan hanya penulis saja yg bisa tau kapan perlu membuat kerangka, kapan tidak.
Biasanya untuk awal, minimal kita harus tahu garis besar novel kita itu tentang apa. Bagaimana awal ceritanya, apa konflik utamanya, dan bagaimana endingnya. Untuk adegan tiap bab, biasanya kerangka cerita tidak akan terlalu berguna karena adegan per adegan itu akan mengalir sendiri saat kita membuat cerita.
Untuk cerita misteri atau detektif, mungkin kita membutuhkan kerangka yg lebih ketat. Karena ceritanya sudah jelas, yaitu mengungkap identitas si tokoh jahat. Kita harus cerdas dalam menentukan bagaimana mengelabui pembaca agar tidak menduga siapa tokoh jahatnya, lalu membuat pemecahan yg fantastis. Bila kerangka tidak kuat, cerita bisa ke mana-mana dan adegan mendebarkan yg diharapkan muncul justru bisa hilang.
Namun untuk cerita-cerita bergenre fantasi ataupun kehidupan sehari-hari biasanya cenderung tidak membutuhkan kerangkayg tidak terlalu ketat.
5. DESKRIPSI, gampang atau susah?
Dalam dunia tulis menulis, membuat deskripsi adalah sebuah seni. Kenapa disebut seni? Karena tidak ada patokan baku mengenai cara membuatnya maupun panjang pendeknya. Apakah deskripsi yg bagus adalah yg panjang? Tidak selalu. Apakah deskripsi yg pendek lebih baik? Tidak juga.
Jadi bagaimana deskripsi yg bagus itu?
Ingat bahwa inti dari sebuah deskripsi adalah membuat pembaca paham apa yg kita maksud. Jika kita harus menerangkan panjang lebar, terangkanlah dengan detil. Namun jika cukup pendek saja, kenapa harus dipanjang-panjangkan. Sekali lagi, deskripsi digunakan untuk membuat pembaca paham, bukan untuk memanjang-manjangkan cerita agar buku menjadi tebal.
Contoh 1:
Untuk mengabarkan tentang pernikahannya, Anita mengirimkan surat via pos kepada teman-temannya.
Contoh 2:
Untuk mengabarkan tentang pernikahannya, Naya mengirimkan Perkamen Berita kepada teman-temannya. Perkamen Berita adalah sebuah sarana bagi para elf Icylandar untuk saling mengirimkan berita. Bentuknya berupa segulung kertas coklat yang memiliki sepasang sayap putih yang membuatnya bisa terbang kesana kemari. Jika para elf ingin mengirimkan berita, mereka cukup mengatakan pada si Perkamen, nanti Perkamen tersebut akan mencari elf yang dituju. Saat sudah sampai di hadapan elf yang akan menerima berita, Perkamen akan membuka gulungan kertasnya dan di dalamnya akan terlihat tulisan dari berita yg dikirimkan. Setiap keluarga elf di Icylandar pasti memiliki satu buah Perkamen Berita.
Kenapa paragraf yg pertama begitu pendek, sedangkan paragraf yg kedua sangat panjang? Karena pada paragraf pertama kita tidak perlu menerangkan apa yg dimaksud dengan via pos. Kita tidak perlu menulis via pos artinya kita menulis di selembar kertas, lalu kita kirim ke kantor pos. Kantor pos adalah sebuah gedung milik PT Pos. PT Pos adalah usaha milik pemerintah untuk mengirimkan surat. Pengirimannya ada yg melewati darat dengan mobil, laut dengan kapal, ataupun udara dengan pesawat. Mobil adalah….. bla…. bla… Semua orang sudah tahu hal-hal tadi. Jadi kita tidak perlu menerangkan ulang. Namun lain halnya dengan Perkamen Berita yg merupakan hasil imajinasi penulis. Itulah sebabnya novel fantasi cenderung tebal karena penulis harus mendeskripsikan banyak hal.
Gunakan seluruh indramu saat membuat deskripsi agar pembaca seolah merasa mengalami sendiri kejadian yang ditulis.
Contoh :
Reiden duduk diam terpaku di teras depan pondok kayu tempatnya menginap. Saat itu hari sudah malam dan hujan turun dengan derasnya. Tidak ada cahaya setitik pun sehingga suasana begitu gelap. Bunyi guntur yang bersahut-sahutan membuat suasana semakin mencekam. Aroma tanah basah memenuhi seluruh udara. Udara sedingin es, tetapi tidak ada sedikit pun niat dari Reiden untuk masuk ke dalam pondok. Ia memilih untuk merapatkan mantelnya.
Indra penglihatan : saat itu hari gelap tanpa cahaya setitik pun
Indra pendengaran : hujan turun dengan derasnya, bunyi guntur bersahut-sahutan
Indra peraba : udara sedingin es
Indra penciuman : aroma tanah basah
Indra pengecap : untuk kalimat ini tidak diperlukan karena memang tidak melibatkan indra pengecap
Sering terjadi, kita membuat deskripsi panjang lebar, tetapi hanya deskripsi dari satu macam indra saja tanpa melibatkan indra yg lain. Itu yg membuat deskripsi jd tampak panjang lebar dan bertele-tele.
6. Bagaimana agar pembaca bisa mengingat semua informasi yang ada di dalam novel kita?
Tidak mungkin kita memberikan banyak informasi dalam waktu singkat kepada pembaca kita. Karena itu kita perlu “memecah informasi” agar pembaca bisa mengingat dengan baik informasi yg ada. Saat seorang pembaca pusing dengan begitu banyaknya informasi, dia akan menjadi malas untuk terus membaca.
Apa itu memecah informasi?
Artinya berikan informasi sedikit demi sedikit. Sebagai contoh di dalam novel Icylandar, istilah Glaudio-elmes baru keluar pada bab Serangan Pegasus Hitam (bab 11). Pada bab-bab sebelumnya, cukup menggunakan kata pegasus emas (ex: Ruben memakai bros berbentuk pegasus emas yg mengangkat kedua kaki depannya dan merentangkan sayapnya ; Padris memakai pakaian yg bersulamkan pegasus emas). Bila istilah Glaudio-elmes sudah diberikan sejak bab awal, maka pembaca bisa bingung. Pelan-pelan saja dalam memberikan informasi.
Contoh lain misalnya tentang latar belakang kehidupan Reiden. Sengaja tidak langsung ditulis :
Reiden adalah seorang elf pria dengan rambut diikat dua kanan kiri. Ibunya adalah Lady Asgret yang merupakan pemimpin mata-mata utama Icylandar. Ayahnya adalah Panglima Sefan, seorang panglima utama Icylandar yang tewas dalam Perang Dermott.
Too much information! Percayalah, pembacamu bisa bingung. Informasi tentang ibu Reiden diberikan pada Bab Rombongan Angsa Putih. Lalu informasi tentang ayah Reiden dalam Bab Penutupan Festival.
Contoh lain lagi:
Ada banyak sekali tokoh di Icylandar. Mungkinkah pembaca mengingat semuanya? Jelas tidak mungkin. Karena itu dibuatlah trik khusus. Untuk tokoh-tokoh utama yg sering muncul, pembaca memang mau tidak mau dipaksa mengingat. Namun karena tokoh-tokoh ini memang sering muncul, jadi tidak ada masalah. Tokoh-tokoh itu misalnya Padris, Louie, Naya, Panglima Arlan, Jendral Rafael, Jendral Rodrigo, Jendral Antolin, Ruben, Reiden, Keysuu, Cleo, Kay, Farrel.
Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh sampingan, misalnya saja Panglima Vinze. Panglima satu ini jarang muncul, tetapi toh kadang dia harus muncul. Supaya pembaca tidak bingung siapa itu Panglima Vinze, hampir setiap menyebutkan nama Panglima Vinze, diikuti dengan nama Farrel.
Terlihat seekor pegasus terbang mendekat. Panglima Vinze yg merupakan ayah dari Farrel duduk di atas punggung pegasus itu.
Atau…
Panglima Vinze langsung berdiri memberikan tepuk tangan untuk Farrel, anaknya.
Nantinya di buku kedua, tokoh Panglima Vinze sudah mulai bisa dilepas tanpa perlu menyebutkan dia adalah ayah dari Farrel. Karena pembaca sudah mulai hafal dengan tokoh Panglima Vinze.
Ada banyak teknik untuk memecah informasi. Jadi tidak perlu berpegang pada satu patokan tertentu.
7. Bagaimana membuat tokoh-tokoh kita benar-benar seperti hidup?
Karakter adalah salah satu faktor vital dalam sebuah novel. Membuat karakter tokoh-tokoh kita bisa dipahami dan diingat oleh pembaca, lagi-lagi merupakan sebuah seni tersendiri. Akan langsung kuberi contoh saja.
Untuk awal tetapkan dulu sifat dari tokoh yg hendak kita buat. Kuambil contoh Jendral Rafael dan Jendral Antolin. Jendral Rafael adalah elf yg baik dan lembut seperti malaikat. Sedangkan Jendral Antolin pemarah, cuek, tetapi sebenarnya dia adalah elf baik.
Berikutnya aku ingin pembacaku bisa menangkap karakter kedua tokoh itu. Pembaca akan lebih mudah menangkap karakter seorang tokoh melalui suatu adegan atau percakapan.
Contoh :
“Hai, Louie, maukah kau menembakkan anak panahmu?”
Louie mengangguk perlahan, kepalanya tertunduk lesu, jelas terlihat kalau ia sedang sangat ketakutan. Ia maju beberapa langkah ke depan kemudian mengangkat busur panahnya dan bersiap menembakkan anak panahnya.
“Sebentar, Louie.” Jendral Rafael memegang kedua tangan Louie dan membalikkan telapak tangan anak itu. Terlihatlah kedua telapak tangan Louie yang merah melepuh karena terlalu banyak menarik tali busur kemarin.
“Kau tidak perlu memaksakan diri seperti ini, Louie,” kata Jendral Rafael, matanya memandang kedua telapak tangan itu dengan sedih.
“Aku sangat bodoh, Jendral, jadi aku harus berlatih keras. Aku tidak mau membuatmu malu,” sahut Louie pelan, kepalanya masih tetap menunduk.
“Tidak, Louie, kau tidak akan pernah membuatku malu. Tidak ada satu pun elf di Icylandar yang akan membuatku malu.” Jendral Rafael mengusap kedua telapak tangan Louie dan seketika telapak tangan itu tidak lagi merah melepuh.
Dari adegan di atas kita dengan mudah menangkap kalau Jendral Rafael itu elf yg begitu baik, lembut, dan sangat menghargai elf-elf yg lain, bahkan yg paling bodoh sekalipun. Ini jauh lebih efektif daripada kita berulangkali menulis Jendral Rafael itu adalah elf yg sangat baik. Karena itu usahakan setiap adegan dan percakapan, bisa menggambarkan karakter tokoh-tokoh kita.
Sering terjadi sebuah novel yg tebalnya ratusan halaman, dengan ratusan adegan, dan ratusan percakapan, tetapi karakter tokohnya tetap tidak terbaca. Itu karena setiap percakapan dan adegan tidak diarahkan untuk menunjukkan karakter si tokoh. Apakah itu berarti novelnya jelek? Tidak juga. Setiap penulis memiliki ciri khas nya sendiri. Ada yg suka deskripsi alam yg detil, ada yg suka membuat percakapan panjang lebar, dan lain-lain.
Apakah semua tokoh sudah harus kita tetapkan sejak awal?
Tidak. Saat sedang menulis, biasanya akan muncul tokoh-tokoh baru dengan sendirinya. Namun, ada satu hal yang perlu diwaspadai. Sekali kita sudah menciptakan misal tokoh A dengan sifat keras kepala, agak manja, egois, tapi baik. Lalu kita sudah mulai menulis. Begitu kita sudah menulis jauh, ternyata kita merasa tokoh A semestinya sifatnya dingin, tidak terlalu egois, dan tidak banyak bicara. Akhirnya kita terpaksa mengubah banyak adegan dan percakapan. Percayalah, hal itu sulit. Mengubah karakter tokoh yg sudah tertanam di otak kita jelas tidak semudah itu. Jadi sejak awal hati-hati dalam menetapkan karakter tokoh.
8. Bagaimana dengan tanda baca?
Masalah tanda baca bukanlah hal yg perlu terlalu diributkan pada saat menulis karena tanda baca dll bisa diedit setelah naskah selesai ditulis. Yg penting pada saat kita menulis adalah membuat jalinan cerita yg indah.
Di sini aku memang tidak ingin membahas masalah tanda baca. Itu bisa dipelajari melalui buku-buku EYD.
Okey, part 1 sampai di sini dulu. Jika kalian punya pertanyaan, silahkan langsung tanya saja. Kalau aku bisa menjawab, pasti dengan senang hati kujawab. Dan jika ada di antara kalian yg ingin ku tag di note-note Let’s Make a Book, juga bilang saja. Nanti akan ku tag kan.
0 komentar:
Posting Komentar